语文出版局星洲 合力推广学国语(30)

Padma menjadi simbol ketenangan jiwa, keteguhan prinsip dan keindahan yang tidak bergantung kepada pengiktirafan luar. Ia seolah-olah mewakili insan yang tetap berdiri teguh dalam dunia yang penuh dengan kebencian dan kekacauan, menuju ke arah kehidupan yang abadi dengan penuh makna dan ketulusan.

Sajak ini mengangkat tema ketabahan dan keteguhan diri sebagai inti utama. Melalui imejan alam seperti bayu, ribut, gerimis dan kegelapan malam, penulis menonjolkan kekuatan dalaman dan ketabahan bunga tersebut yang tidak tunduk kepada pujian atau ancaman. Sajak ini juga membawa pemikiran utama tentang keteguhan jiwa dan ketenangan batin seseorang yang mampu berdiri sendiri di tengah kekacauan dunia.

Beberapa gaya bahasa yang digunakan oleh penulis untuk menghidupkan sajak ini ialah personifikasi melalui frasa “Engkau menari lembut, mengikut alunan bayu…”, — bunga padma digambarkan seolah-olah menari seperti manusia, dan “Kunang-kunang memuntahkan kerlipan cahaya…” — kunang-kunang digambarkan seolah-olah memuntahkan cahaya, satu tindakan manusiawi.

Penulis juga memasukkan metafora melalui frasa “Kau adalah sekuntum padma…” — menjadi lambang kepada seorang insan yang tabah dan tidak mudah goyah, dan “Dunia lagi sedang gempita” — dunia digambarkan sebagai tempat yang bergelora, mewakili kekacauan hidup.    

Selain itu, terdapat penggunaan simile atau perumpamaan melalui frasa “Seperti tiada apa-apa yang mengacau ketenanganmu”, yang menunjukkan ketenangan padma yang tidak tergugat walaupun dunia bergelora.

Penulis bijak menggunakan imejan untuk menggambarkan alam seperti frasa “Gerimis hujan jatuh menitik di titian sungai”, “Badai malam menerpa di ufuk senja” dan “Kicauan burung… Bersahutan cengkerik...” — semua ini membentuk suasana yang tenang tetapi penuh cabaran, mencerminkan perjalanan hidup.

Terdapat juga gaya bahasa pengulangan seperti “Tidak menunduk… Tidak kembang...”, menekankan pendirian padma yang tidak mudah terpengaruh.

Walaupun, pengulangan imejan alam yang serupa dalam banyak baris boleh menyebabkan kesan monoton jika tidak diimbangi dengan baik, namun secara keseluruhannya, sajak ini mempunyai estetika dan falsafah yang kuat untuk ditekuni. Antara kekuatan sajak ini ialah gaya bahasanya yang digunakan mengesankan. Strukturnya juga konsisten, menjadikan aliran sajak lancar dan tidak terganggu, lantas menghasilkan pembacaan menyenangkan dan bermakna.

Sajak “Bisu” karya Olivia Ngor pula mengungkapkan penderitaan batin dan kekangan emosi seorang individu yang tidak mampu meluahkan perasaan secara lisan. Melalui suasana kelam dan sunyi, penulis menggambarkan bisu bukan sekadar ketiadaan suara, tetapi sebagai simbol tekanan jiwa, kesepian dan harapan yang rapuh.

Pemikiran utama dalam sajak ini menyentuh tentang perjuangan dalaman yang sunyi, dan betapa pentingnya ruang untuk meluahkan rasa agar jiwa tidak terus terperangkap dalam kelam.

Sajak “Bisu” menggunakan pelbagai gaya bahasa yang memperkuatkan kesan emosi dan menyampaikan penderitaan batin dengan mendalam. Antaranya ialah personifikasi melalui frasa “Delusi mengulit jiwa sepi bergulir” — delusi digambarkan seolah-olah mampu membelai jiwa seperti manusia, dan “Bisu menyekat bicara” — bisu digambarkan sebagai kuasa aktif yang menghalang komunikasi.

Penulis menggunakan perbandingan secara langsung lewat metafora seperti “Disimbah nista setajam petir” – nista digambarkan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan mengejutkan seperti petir dan “Menggarap harapan serapuh nadir” — harapan digambarkan sebagai sesuatu yang sangat rapuh, hampir mustahil.

Penulis juga memanfaatkan gaya bahasa simile — “Sebisu pekat malam”. Manakala terdapat juga pengulangan melalui frasa “Lesu dan terabai… lesu sunyi dan terkapai”.

Penggunaan imejan emosi dan alam dilihat dapat memmbangkitkan suasana dan rasa seperti frasa “Diam dan kelam”, “sendu kutersedu suram”, “di batas mimpi retakan terbuai”. Selain itu penulis juga telah memilih konotasi dan diksi yang puitis seperti kata-kata “getir”, “nadir”, “terkapai” dan “tersedu” yang membawa maksud kesakitan, kelemahan dan perjuangan dalaman.

Kekuatan sajak “Bisu” dilihat daripada pengolahan emosinya yang mendalam, di samping gaya bahasa yang puitis dan berkesan. Nada melankolik yang konsisten juga telah mencipta suasana yang menyentuh dan reflektif. Setiap baitnya mempunyai sytruktur yang berirama dan teratur dengan aliran yang lancar dan tidak terganggu. Penulis bijak dalam memilih diksi yang bermakna yang membawa konotasi yang kuat dan mendalam.

Penulis sebenarnya boleh juga mempelbagaikan imejan dan tidak hanya berpusat pada kesuraman dan kesepian. Sajak ini bersifat introspektif sepenuhnya tanpa gambaran tentang siapa yang mengalami penderitaan ini. Akhir sekali, pengulangan nada yang melankolik juga berisiko monoton bagi sesetengah pembaca tanpa ketiadaan perubahan emosi atau titik klimaks.

Secara keseluruhannya, “Bisu” ialah sebuah sajak yang kuat dari segi ekspresi batin dan keindahan bahasa, namun boleh diperkukuh dengan sedikit variasi suasana atau penjelasan latar untuk menjadikannya lebih menyeluruh dan berkesan.